Vassal, perwakilan kerajaan, Tanjung Jaya berfungsi sebagai pos pengutipan tol sungai untuk perahu yang melintas di kali Ciliwung yang mengalir di vassal itu. Berseberangan dengan lokasi istana Ratu Kiranawati adalah dermaga Condet. Kampung di sekitarnya hingga kini bernama Dermaga.
Ratu Kiranawati adalah permaisuri Raja Siliwangi Surawisesa (1521-1535). Sepeninggal suaminya, Ratu Kiranawati hijrah ke Depok. Kampung dimana ia bermukim diberi nama Ratu Jaya. Saya berpendapat pengakuan Rama bahwa ia seorang pangeran benar adanya, dan ini berarti ia keturunan Ratu Kiranawati.
Rama mengajarkan ilmu bela diri, dan sangat mungkin ia juga seorang guru kebatinan. Pengaruh Rama menyebar mulai dari Bogor, Parung, Batavia, Cibarusa, Tambun, Tegal Waru, dan Depok sendiri. Murid-muridnya banyak sekali. Mereka adalah petani.
Rama mengajarkan bahwa tanah yang berbatas antara kali Sadane (barat) dan kali Tarum (timur) adalah “tanah kita”. Karena itu kita harus rebut dari tangan Tuan Tanah Belanda. Konsep geografi yang diutarakan Rama sebenarnya wilayah Nusa Kalapa (nama wilayah Jakarta dulu berdasarkan peta Pangeran Panembong abad XVI). Pengetahuan ini mustahil dimengerti Rama jikalau ia bukan keturunan Ratu Kiranawati. Informasi ini merupakan warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya hingga Rama. Rama yang tergugat untuk merebut kembali tanah nenek moyangnya dulu. Rama menganjurkan pengikutnya untuk berontak melawan Belanda.
Motivasi pemberontakan yang dipimpin Rama terkonsepsi dengan jelas, yaitu membebaskan tanah warisan leluhur dari penguasaan Belanda. Mungkin tidak ada pemberontakan-pemberontakan petani yang motivasinya sejelas Rama.
Sasaran pemberontakan adalah kantor Asisten Residen Meester Cornelis di Tambun. Ada pun kantor Residen sendiri terletak di depan Stasion KA Jatinegara. Wilayah Tambun, dan sejumlah wilayah lain yang diclaim Rama, termasuk residensi Meester Cornelis.
Pilihan Rama tepat, karena penjagaan di kantor Residen lebih ketat daripada di Tambun. Di samping itu pengikut Rama lebih banyak di Tambun dan sekitarnya daripada di Jatinegara.
Pada bulan Maret 1869 Rama merayakan pesta perkawinan puterinya. Tamu-tamunya datang dari segala pelosok. Pada kesempatan itu Rama mengumumkan bahwa pada tanggal dua bulan haji (Zulhijjah) akan terjadi gerhana matahari. Itu bertepatan dengan tanggal 3 April 1869. “Pada malem gerhana kita kudu serang Belanda, lantaran ia kagak ngeliat”.
Dengan 300 orang pengikutnya Rama menyerang kantor Asisten Residen Meester Cornelis di Tambun tanggal 3 April 1869. Asisten Residen dan 7 orang pegawai dan pengawal tewas seketika.
Rama dan pembantu terdekatnya menghilang. Pada tanggal 17 Juni 1869 Rama dengan 23 orang pengikutnya tertangkap. Rama dan dua orang pengikutnya dieksekusi di tempat. Sedangkan yang 21 orang diproses di landraad Meester Cornelis, pengadilan Jatinegara.
Semua petani pemberontak yang 21 orang itu dijatuhi hukuman mati gantung kepala. Pada bulan Agustus 1869 eksekusi dilaksanakan di lapangan militer Jatinegara, sekarang lapangan Jenderal Urip Sumohardjo.
Proses pelaksanaan eksekusi dilakukan bergelombang. Dan disaksikan khalayak ramai. Pertama 9 orang digantung. Yang belum digantung sebanyak 12 orang ikut menyaksikan penggantungan itu dengan kaki dan tangan dirantai.
Tiba-tiba seusai pelaksanaan penggantungan yang 9 orang, kepala algojo mengumumkan bahwa yang 12 orang urung digantung. Residen dengan berkuda datang ke lapangan eksekusi menyatakan 12 orang yang tersisa itu dikenakan hukuman kerja paksa selama 15 tahun.
Ini menimbulkan teka-teki para pengamat sejarah kolonial. Saya berpendapat ketika proses eksekusi sedang dilaksanakan datang pemberitahuan melalui telegraaf dari kerajaan Belanda bahwa hukuman mati itu harus dibatalkan. Tetapi sudah terlanjur dilaksanakan pada 9 orang.
Pada saat itu di Belanda mulai muncul benih-benih emansipasi, yaitu tuntutan agar pemerintah kolonial Belanda menyamakan (emansipasi) perlakuan antara rakyat jajahan dengan rakyat Belanda. Tuntutan ini pengaruh dari Perancis yang pernah menjajah Belanda.
Tetapi tuntutan ini kalah pengaruhnya dengan semangat kolonialisme kerajaan Belanda dan pegawai-pegawainya di tanah jajahan. Dalam menghadapi pemberontakan mereka bersikap membunuh pelakunya di tempat, tanpa harus dibawa ke landraad. Ini dilakukannya dalam menghadapi pemberontakan Condet tahun 1916, Kalin Bapa Kayah tahun 1924, dan sebelumnya pemberontakan tunggal si Pitung tahun 1894.
Mereka yang terpengaruh pada gagasan emansipasi hanya sekelompok kecil intelektual seperti Snouck Hurgronye.
Pemberontakan petani Tambun 1869 mematahkan mitos bahwa rakyat kecil itu bersikap nrimo, menerima apa saja perlakuan terhadap dirinya walau seburuk apa pun. Ternyata mitos itu tidak benar. Pada saatnya rakyat kecil berbicara dengan bahasanya sendiri.
(Tulisan ini disiapkan dengan bantuan Saudara Yahya Andi Saputra)